Cinta milik Aruna
Hari itu, semuanya terlihat biasa saja. Melakukan rutinitas yang berulang dan sangat membosankan.
Seorang perempuan dengan rambut hitam sebahu, berlari tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Padahal jarum jam baru menunjukkan pukul 06.30, masih pagi.
2 menit berlalu, dia sudah sampai di pintu kelas dengan napas terengah. Masih cukup sepi. Hanya ada orang-orang yang memang langganan berangkat subuh saja.
“Tumben Na,” ucap seorang laki-laki berkacamata yang hobinya duduk di bangku paling belakang. Dia pintar, tapi hobi tidur.
“Iyaa, kesiangan,” jawab Aruna, masih setengah ngos-ngosan.
Iya, gadis itu bernama Aruna. Gadis yang cukup ditakuti oleh teman-teman kelasnya. Mungkin gara-gara suka marah-marah? Tapi entahlah. Kata orang sih, dia tsundere. Tapi kata dirinya sendiri sih, “Gue cuma nggak suka orang telat ngerjain tugas kelompok.”
Tujuan Aruna pagi ini jelas: merebut takhta bangku tengah dekat jendela. Tempat suci. Tempat dia bisa mengelamun, mengawasi lapangan dari balik tirai, dan menyembunyikan ponsel saat guru tidak sadar.
15 menit berlalu. Jarum jam menunjukkan pukul 06.45. Dari kejauhan, tampak seorang perempuan mungil dengan mata panda dan rambut yang seperti belum sempat disisir sejak zaman Majapahit.
“Putri,” panggil Aruna sambil melambaikan tangan. “Sini, cepetan. Sebelum si Nissa rebut bangku ini.”
Putri mengangguk, tapi jalannya tetap pelan. Seperti kucing yang baru bangun tidur. “Mata aku berat banget, Na. Aku nggak bisa move on dari semalam.”
Aruna meneguk ludah. “Hah? Apaan semalam?”
Putri langsung menjatuhkan badannya ke kursi, lalu menunduk dramatis seperti pemeran utama sinetron episode 785.
“Ra, aku… aku harus cerita.”
“Aku bukan psikolog,” jawab Aruna dengan nada datar, tapi sebenarnya udah nyiapin hati buat dengerin drama kelas pagi.
Putri membuka tasnya, mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi brownies kering.
“Aku nyogok pake ini,” katanya pelan.
Aruna langsung serius.
“Oke. Duduk. Cerita. Jangan lewati satu detik pun. Aku mau tahu semuanya. Ini bukan tentang mantan yang kamu omongin minggu lalu, kan?”
Putri menggeleng. “Lebih parah.”
Ternyata Putri semalam ikut acara kampus kakaknya. Seminar. Banyak mahasiswa ganteng, katanya. Tapi satu yang paling bikin jantungnya dag dig dug...
“Noel dateng, Na.”
Aruna mengerutkan dahi. “Serius?”
Putri mengangguk sambil memeluk kotak browniesnya erat-erat. “Dan… dia nggak sendiri.”
Aruna bisa menebak kelanjutannya. Kelanjutannya yang tidak dia inginkan. Tapi dia diam. Jantungnya mulai berdetak seperti lagu EDM yang error.
“Nala bareng dia. Datengnya bareng. Duduknya bareng. Bahkan… pulangnya bareng. Gimana aku tahu? Soalnya aku satu meja di belakang mereka.”
Seketika, dada Aruna sesak. Padahal dia belum sarapan. Rasanya kayak makan bubur tanpa kuah.
“Terus kamu gimana?” tanyanya.
Putri menghela napas. “Aku... aku ketawa, Na.”
“Kamu ketawa?”
“Iya, ketawa... sambil nyakar kotak snack.”
Aruna terdiam. Lama. Lalu tertawa kecil. “Kamu memang drama queen.”
Putri tersenyum, tapi tatapannya tajam. “Tapi kamu lebih drama, Na.”
“Aku?”
“Iya. Dari tadi kamu senyum-senyum doang, tapi aku tahu otakmu udah ngebentuk 87 skenario sinetron patah hati.”
Aruna tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah ke jendela. Melihat lapangan kosong yang biasa dipakai Noel main basket.
“Gue baik-baik aja kok,” katanya, akhirnya.
Putri mengangkat alis. “Oh ya? Gitu ya? Coba ulangi sambil nggak berkedip.”
Aruna menoleh dan berusaha keras menahan air mata yang mulai menggenang. “Gue... baik-baik aja.”
Mereka diam. Lama.
Tiba-tiba Aruna berdiri. “Lo tau nggak kenapa gue pengen banget duduk di bangku tengah ini?”
Putri menggeleng.
“Soalnya dari sini, gue bisa lihat Noel pas dia lewat. Pas dia main basket. Pas dia bercanda sama temen-temennya. Dari sini, gue bisa nyimpen perasaan gue... diem-diem.”
Putri menatap Aruna, terdiam.
“Gue tahu dia nggak suka gue, Put. Gue tahu gue cuma figuran dalam hidup dia. Tapi tetap aja... harapan itu nyebelin. Kita tahu harapan bikin sakit, tapi kita terus peluk dia kayak boneka bekas.”
Aruna terdiam dengan wajahnya yang masih tetap tersenyum dan memandang lurus lapangan basket.
Kenapa Aruna merasa jantungnya nyut-nyutan?
Dia sudah tahu sejak lama kalau kemungkinan Noel tahu dia suka itu cuma 1:1000. Tapi tetap saja, rasanya kayak makan gorengan pakai saus sambel tapi ternyata isinya wasabi.
Putri melirik Aruna pelan-pelan.
“Aruna... lo nggak apa-apa kan?”
Aruna menarik napas panjang.
“Gue? Baik-baik aja.”
Dan ya, seperti manusia-manusia lain yang pernah mengalami cinta bertepuk sebelah hati... baik-baik aja adalah password universal dari hati yang sebenarnya lagi kebakaran.
Komentar
Posting Komentar