Aku Jatuh, lagi?

Pertengahan tahun genap. Pagi itu aku menatap pantulan wajah yang sudah lebih baik dibandingkan bulan lalu. Sudah tidak terlalu muram, bahkan tidak lagi sembab. Ya, meskipun akan banyak jiwa yang tahu kalau sepasang mata itu masih membawa luka yang belum tertutup dengan sempurna. 

“Huft! Tidak terlalu menyedihkan.”  


Kadang aku juga tidak paham kenapa luka-luka yang sudah cukup lama itu terus saja memaksa untuk tetap bersemi di dalam rangkaian cerita yang mestinya harus tetap berlanjut. Apa karena mereka akan menjadi prolog untuk cerita selanjutnya? Tidak penting. 


Seperti biasa. Sampai di sekolah pukul enam pagi. Tidak kurang dan tidak lebih. Sudah ada seorang laki-laki berkulit putih dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya. Laki-laki pemburu bangku paling belakang. Oh, iya, di sana juga sudah ada perempuan berwajah manis, si pemilik alis tebal, lebih sering dikenal sebagai manusia pertama yang hadir di kelas.  


Aku memilih bangku nomor dua. Bangku itu seperti memiliki magnet yang menarikku untuk duduk di situ. Padahal bisa saja aku memilih bangku lain di urutan belakang karena masih kosong. Tapi, sepertinya penulis tidak membiarkanku untuk duduk di bangku belakang. 


Suara jarum jam yang menari-nari di gendang telingaku menunjukkan bahwa waktu masih tetap berjalan, seperti biasa. Satu persatu penghuni kelas mulai berdatangan dengan berbagai warna wajah. Senang, sedih, atau biasa saja?  


“Hai, selamat pagi, gimana liburan kali ini?”  


Bahkan aku sudah menebak bahwa hari ini aku akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Haha. Ini serius. 


“Emm, not bad?” 


Semoga lekas pulih.” 


Aku tidak lagi menjawab ucapannya. Hanya membuang-buang waktu jika harus kembali membuka guratan lama yang sudah hampir lupa. Aku kembali memperhatikan pintu kelas yang membawa kami memasuki ruang hangat sederhana ini. 


Pukul setengah tujuh lebih lima menit. Waktu itu akan selalu aku ingat. Seorang laki-laki dengan jaket berwarna hitam memasuki kelas dengan langkah cepat. Sialnya hanya ada dua bangku yang tersisa. Paling depan dan urutan kedua, di deretan sebelah kiriku. 


Tentu saja dia memilih untuk duduk di urutan kedua. Tepat di samping kiriku. Berbatas ruang untuk berjalan. Setelah itu, dia hanya duduk dan mengotak-atik benda pipih persegi panjang miliknya tanpa memedulikan sekitar. Entah apa yang menarik di dalam sana. 


Cukup. Aku tidak mau terhipnotis di pagi-pagi buta. Aku kembali dengan kegiatanku, mengamati pintu kelas.

 

Catitalina.” 


Suara itu mengejutkanku. Kepalaku terpaksa harus kembali menoleh ke deretan bangku paling kiri di ruang kelas ini.  


“Aku?” 


Siapa lagi?” 


Namaku Citalina.” 


Dia mengedikkan bahunya seakan tidak peduli dan itu terserah dia. 


Pinjam pensil.” 


Tanpa banyak berkomentar, aku mengulurkan sebuah pensil padanya. Tidak. Tidak hanya pensilku saja yang berhasil mendarat di genggamannya. Tapi aku? Aku ikut terseret ke sana. Tempat yang saat itu tidak aku inginkan. 


Apakah aku akan jatuh lagi?” 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

He Makes Me Brave

Cinta milik Aruna

Gara-gara Hujan dan Dia